Minggu, 27 Maret 2016

Tulisan1_Hukum Adat Suku Bugis

Setiap suku bangsa memiliki adat tersendiri yang merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari jiwa bangsa itu sendiri. Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa yang berlangsung turun temurun dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia tentu memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya sehingga ketidaksamaan inilah yang memberikan identitas antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula bangsa Bugis yang juga memiliki tatanan hukum adat dalam menjalani kehidupannya.

Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.Dahulu, dikalangan bangsa Bugis Bone dikenal hukum adat dengan istilah “Malaweng”. Hukum Adat Malaweng itu terdapat tiga tingkatan yaitu:
  1. Malaweng tingkat pertama (Malaweng Pakkita), yakni sesesorang yang melakukan pelanggaran melalui pandangan mata. Misalnya, menatap sinis kepada orang lain, menatap tajam laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya dan lain sejenisnya. 
  2. Malaweng tingkat kedua (Malaweng Ada-ada), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran melalui kata-kata yang diucapkan. Misalnya, berkata yang tidak senonoh kepada orang, membicarakan aib orang lain, berkata sombong dan angkuh, berkata kasar kepada lawan bicaranya, dan lain sejenisnya. 
  3. Malaweng tingkat ketiga (Malaweng Kedo-kedo), yakni seseorang yang melakukan pelanggaran karena perbuatan tingkah laku. Misalnya, laki-laki melakukan hubungan intim dengan perempuan adik atau kakak kandungnya sendiri, membawa lari anak gadis (silariang), melakukan hubungan intim dengan ibu/ayah kandungnya sendiri, menghilangkan nyawa orang lain, mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan yang punya, dan lain sejenisnya.
Masyarakat suku Bugis, sebagaimana masyarakat lainnya di Propinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, merupakan pemeluk Islam yang taat, kehidupan mereka selalu diwarnai oleh keadaan yang serba religius. Kondisi ini ditunjukkan oleh banyaknya tempat-tempat ibadah dan Pendidikan Agama Islam. Sekalipun masyarakat suku Bugis mayoritas memeluk agama Islam, namun di kota Watampone juga ada gereja dan beberapa tempat ibadah pemeluk agama lainnya. Hal ini berarti, pemeluk agama lain cukup leluasa untuk menunaikan ibadahnya. Keadaan ini memberikan dampak yang positif terhadap kehidupan keagamaan, karena mereka saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya. Di samping itu, peran pemuka agama terutama para alim ulama sangat dominan dalam kehidupan keagamaan. Bahkan bagi masyarakat suku Bugis, alim ulama merupakan figur kharismatik yang menjadi panutan masyarakat. 
 
Adapun mengenai pengembangan kebudayaan, saat ini suku Bugis berupaya untuk membina nilai-nilai budaya daerah sebagai bagian dari budaya nasional dengan berdasarkan pada penerapan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal masyarakat suku Bugis. Salah satu bentuknya adalah memfasilitasi terbentuknya Lembaga Adat “Saoraja” sebagai mitra dalam hal pelestarian nilai-nilai adat dan budaya luhur serta pengembangan kebudayaan. 
 
Suku bangsa Bugis yang mendiami pulau Sulawesi bagian Selatan juga mempunyai norma yang disebut “PANCANORMA” yakni terdapat 5 (lima) butir norma yang menjadi salah satu unsur pembeda dari sejumlah suku bangsa yang ada. Konsep Pancanorma (Pangngadereng) ini lahir sejak abad ke-16 yaitu pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6 (1543-1568). Pada masa itu terdapat seorang cendekiawan Bugis yang bernama Lamellong. Karena kemampuan berpikir yang dimilikinya, Raja memberinya gelar “Kajaolalliddong” yaitu cendekiawan atau orang cerdik pandai dari sebuah kampung yang bernama Lalliddong di wilayah kerajaan Bone. Sang Kajaolah yang melahirkan “Konsep Pangngadereng” yang hingga kini masih dipegang teguh oleh suku bangsa Bugis. Pokok-pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan yang beliau ciptakan menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan. 
 
Dalam lintas perjalanan Kerajaan Bone dilukiskan, betapa besar jasa Lamellong dalam mempersatukan tiga Kerajaaan Bugis, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, dalam sebuah ikrar sumpah setia untuk saling membantu dalam hal pertahanan dan pembangunan kerajaan. Ikrar ini dikenal dengan nama “Lamumpatue ri Timurung” tahun 1582 pada masa pemerintahan La tenri Rawe BongkangngeE raja Bone ke-7 (1568-1584). Dalam ikrar itu ketiga raja yakni, La Tenri Rawe BongkangngE (Bone), La Mappaleppe PatoloE (Soppeng), dan La Mungkace To Uddamang (Wajo) menandai ikrar itu dengan menenggelamkan tiga buah batu.
 
Pokok-pokok pikiran Lamellong yang dianjurkan kepada raja Bone ada empat hal, yakni:
  1. Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai; 
  2. Tidak memejamkan mata siang dan malam; 
  3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan 
  4. Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Implementasi pokok-pokok pikiran sebagai unsur perekat dalam menjalankan aktivitas pemerintahan di atas adalah:
  1. Siattinglima, yakni bergandengan tangan 
  2. Sitonraola, yakni kesepakatan melalui musyawarah 
  3. Tessipano, yakni tidak saling menjatuhkan 
  4. Tessibelleang, yakni tidak saling menghianati
Tiga faktor utama yang ditekankan Kajao dalam pelaksanaan pemerintahan di atas merupakan ciri demokratisasi yang membatasi kekuasaan raja, sehingga raja tidak dapat bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan norma yang telah ditetapkan. Dalam pembatasan kekuasaan di Lontara’ disebutkan, bahwa Arung Mangkau (raja) berkewajiban untuk menghormati hak-hak orang banyak. Perhatian raja harus sepenuhnya diarahkan kepada kepentingan rakyat sesuai amanah yang telah dipercayakan kepadanya.

Hubungan kekerabatan dan stratifikasi sosial juga merupakan hal yang penting dalam hukum adat masyarakat Bugis. Pada umunya orang Bugis mempunyai sistem kekerabatan yang disebut dengan assiajingeng, yaitu sistem yang mengikuti lingkungan pergaulan hidup dari ayah maupun dari pihak ibu. Garis keturunan berdasarkan kedua orang tua. Hubungan kekerabatan ini menjadi sangat luas karena selain ia menjadi anggota keluarga ibu, ia juga menjadi anggota keluarga dari pihak ayah. Hubungan kekerabatan atau assiajingeng ini dibagi atas siajing maréppé (kerabat dekat) dan siajing mabéla (kerabat jauh). 
 
Kerabat dekat atau siajing maréppé merupakan kelompok penentu dan pengendali martabat keluarga. Anggota siajing maréppé didasarkan atas dua jalur, yaitu réppé maréppé yaitu keanggotaan yang didasarkan atas hubungan darah, dan siteppang maréppé (sompung lolo) yaitu keanggotaan didasarkan tas hubungan perkawinan. (Makkulau, 2006).
Adapun anggota keluarga yang tergolong réppé maréppé yaitu:
  1. Iyya, Saya (yang bersangkutan) 
  2. Indo’ (ibu kandung iyya) 
  3. Ambo’ (ayah kandung iyya) 
  4. Nene’ (nenek kandung Iyya baik dari pihak ibu maupun dari ayah 
  5. Lato’ (kakek kandung Iyya baik dari ibu maupun dari ayah) 
  6. Silisureng makkunrai (saudara kandung perempuan Iyya ) 
  7. Silisureng woroané (saudara laki-laki iyya) 
  8. Ana’ (anak kandung iyya) 
  9. Anauré (keponakan kandung iyya) 
  10. Amauré (paman kandung iyya) 
  11. Eppo (cucu kandung iyya) 
  12. Inauré / amauré makkunrai (bibi kandung iyya)
Sedangkan anggota keluarga yang termasuk siteppang maréppé yaitu:
  1. Baine atau indo’ ‘ana’na (istri iyya) 
  2. Matua (ibu/ayah kandung istri) 
  3. Ipa woroané (saudara laki-laki istri iyya) 
  4. Ipa makkunrai (saudara kandung perempuan istri iyya) 
  5. Manéttu (menantu, istri atau suami dari anak kandung iyya)
Lapisan sosial tradisional masyarakat Bone membedakan status menurut kadar “arung” nya (keturunan). Ukuran yang digunakan adalah soal asal keturunan sebagai unsur primer. Oleh karena itu perlu dibedakan dahulu jenis-jenis keturunan yang terdapat di Kabupeten Bone secara umum dibagi atas beberapa golongan, yaitu:
  1. Ana’ mattola: yang berhak mewarisi tahta dan dipersiapkan untuk menjadi raja arung (raja/ratu). Tingkatan ini terbagi atas dua sub golongan yakni: ana’ sengngeng dan ana’rajéng. 
  2. Ana’ céra’ siseng/I: anak yang beradarah campuran atas kedua sub di atas yang kawin dengan perempuan biasa. 
  3. Ana’ céra’ dua/II: anak hasil perkawinan céra’ siseng dengan perempuan biasa. 
  4. Ana’ céra’ tellu/III: anak hasil perkawinan céra’ dua dengan perempuan biasa. Ketiga lapisan cerak ini menduduki golongan bangsawan menengah. Kemudian céra’ tellu ini dengan perempuan biasa akan menghasilkan bangsawan terendah. Ampo cinaga, anakkarung maddara-dara, dan anang. 
  5. Tau sama (orang biasa)/tau maradéka (orang bebas): di kalangan ini masih dibedakan atas keturunan leluhirnya yang masih terhitung bangsawan, betapapun rendahnya lapisan dan berapa jauhpun pertautannya (tau tongeng karaja) dan yang benar-benar keturunan orang biasa (tau sama mattanété lampé). 
  6. Ata (hamba sahaya): golongan yang hilang kemerdekaannya karena sesuatu ikatan langsung. Meskipun penggolongan keturunan tersebut hanya bertahan sampai pada masa kemerdekaan, namun penggolongan keturunan tersebut sekarang ini tidak lagi dianut secara ketat, namun dalam berbagai hal, utamanya dalam kehidupan sosial kadangkala masih dipertanyakan, misalnya dalam hal meminang gadis, maka yang dipertanyakan adalah keturunan.
 

0 komentar:

Posting Komentar